Friday, 25 May 2007

Ada Bumi Super Di Gliese 581

Planet Ini Lima Kalinya Bumi dan Mengorbit Setiap 13 Hari, Layak Dihuni Makhluk Hidup

Geneva, Rabu - Dunia astronomi mencapai kemajuan signifikan dengan ditemukannya planet mirip Bumi di bintang Gliese 581 yang merupakan tata surya lain di jagat raya ini. Astronom Eropa mendeteksi "Bumi super" ini mengorbit bintang tersebut—sebagai mataharinya—berjarak 20,5 tahun cahaya dari Bumi.
Planet ini lebih mirip Bumi dibandingkan dengan 200 planet lainnya yang pernah ditemukan di luar sistem tata surya kita," ujar Stephane Udry, peneliti dari Observatori Geneva, Swiss, seperti diberitakan the Christian Science Monitor, Rabu (25/4).
Planet yang berdiameter 50 persen lebih besar dari Bumi dan bermasa lima kali lipat Bumi, diumumkan tim ilmuwan Eropa, Selasa (24/4), di Geneva, Swiss.
Planet ini mengelilingi Gliese 581 pada jarak yang tepat sehingga memungkinkan air tetap stabil di permukaannya. "Planet ini tentunya terdiri dari batuan yang diliputi lautan," lapor Udry yang juga Kepala tim peneliti Eropa ini tentang hasil penelitiannya berdasarkan pemodelan yang mereka buat.
Paparan hasil temuan ini muncul dalam jurnal ilmiah Astronomy & Astrophysics.
Keberadaan air di planet itu diobservasi secara tidak langsung berdasarkan daya gravitasi dan perputarannya pada spektrum Gliese 581, pada konstelasi Libra. Planet ini mengorbit sekali dalam waktu 12,9 hari Bumi terhadap Gliese 581 yang dikelilinginya.
Bila Gliese 581 sebesar dan sepanas Matahari, hal itu akan menimbulkan masalah. Karena planet terdekat dengan Matahari saja, yaitu Mars, yang jaraknya dari Matahari hampir enam kali lebih jauh dibandingkan dengan planet "Bumi super" terhadap Gliese 581, masih menunjukkan kondisi ekstrem di permukaannya. Yaitu, pada siang hari dataran yang tandus sangat panas tetapi diliputi lapisan es pada malam harinya. Zona yang layak dihuni di tata surya kita, yaitu jaraknya 88 juta mil atau 140,8 juta kilometer dari Matahari.
Akan tetapi, Gliese 581 yang tampak merah dan kecil hanya sepertiga masa Matahari, 50 kali lebih redup. Jadi zona yang dapat dihuni harus lebih dekat ke bintang itu daripada Matahari. Tim peneliti memperkirakan planet yang mereka temukan suhu rata-rata permukaannya antara 0 hingga 40 derajat Celsius.
Pada peta jagat raya, planet ini ditandai dengan X, kata Xavier Delfosse, peneliti dari Universitas Joseph Fourier di Granoble, Perancis.
Detektor Harp
Dimitar Sasselov, peneliti astrofisika di Harvard-Smithsonian Center di Cambridge Massachusetts, AS, dan kelompoknya akan mengobservasi lebih lanjut untuk mengungkap ciri planet tersebut dengan teleskop yang presisinya lebih tinggi.
Sarana yang digunakan adalah detektor pemburu planet, yang dijuluki Harp, yang mendeteksi obyek berkecepatan sekitar dua mil per jam pada nilai aktualnya.
Dua tahun lalu, Harp menemukan planet pertama dalam tata surya Gliese 581. Planet ini masanya sama dengan Neptunus. Dalam data terbarunya tim ini menemukan planet kedua, dan telah melihat bukti kuat planet ketiga. Indikasi awal menunjukkan bahwa planet terakhir ini mengorbit setiap 84 hari dan sekitar delapan kali lebih masif dibandingkan dengan Bumi.
Mulai minggu ini, tim peneliti Swiss bersama Sasselov menggunakan teleskop orbit "MOST" yang lebih canggih milik Kanada untuk melaksanakan penelitian lanjutan.
Cermin pengumpul cahaya pada MOST berdiameter sekitar 15,24 sentimeter. Bandingkan dengan teleskop Hubble yang berdiameter 240 cm dan cermin ganda yang di Kerk Observatory yang hampir 1.016 cm garis tengahnya.
Daya tarik atau pasang (tidal) antara bintang dan planet itu dapat menghentikan rotasi planet. Namun menurut dia, daya itu pada dua planet yang ditemukan sebelumnya berefek moderat.
Untuk memunculkan kehidupan dan beradaptasi perlu proses kestabilan lingkungan lebih dari puluhan ribu hingga jutaan tahun.
Hal itu karena Bumi super itu begitu masif, dan gravitasinya dapat menahan atmosfer yang tebal. Dan teori Bumi super ini kemungkinan memiliki lempeng tektonik yang lebih aktif dibandingkan Bumi. (YUN)
www.kompas.com

"Super-Earth" dan Nasib Bumi-Manusia

"Kehidupan di Bumi semakin berada dalam risiko untuk disapu oleh bencana, seperti pemanasan global mendadak, perang nuklir, virus hasil rekayasa genetika, dan bahaya lain."
(Fisikawan Stephen Hawking, sekembali dari penerbangan gravitasi nol, 26 April 2007)
Apa yang menjadi kerisauan ahli fisika kenamaan Inggris itu sebenarnya juga telah cukup lama menjadi kerisauan banyak orang. Bagaimana cara untuk menyelamatkan ras manusia kalau Bumi sudah tak bisa dihuni lagi?
Seperti juga telah disinggung oleh Hawking, yang dikenal luas di dunia karena penelitiannya di bidang "lubang hitam" dan bukunya yang laris, A Brief History of Time, pemanasan global bisa menjadi pemicu yang membuat Bumi tak bisa lagi dihuni. Penyebab lain bisa jadi karena Bumi sudah tak sanggup lagi menopang kehidupan karena jumlah manusia jadi terlalu banyak dan tak tersedia teknologi dan lahan lagi untuk menumbuhkan tanaman pangan yang dibutuhkan manusia. Atau, lingkungan hidup sudah rusak terlalu parah akibat polusi sehingga—misalnya saja—tak ada lagi persediaan air bersih yang mencukupi untuk menopang kehidupan.
Hawking—dengan kondisi fisik yang terbatas—pekan silam terbang dengan jet khusus yang memungkinkannya merasakan kondisi tanpa gaya berat atau gravitasi nol. Pertama, ia—sebagai empu ilmu tentang gravitasi—ingin merasakan efek ketiadaan gravitasi. Kedua, ia pro terhadap koloni angkasa, dengan latar belakang seperti yang ia kemukakan di atas bahwa pada satu titik nanti Bumi tidak sanggup lagi menopang kehidupan.
Bumi lain
Dalam konteks koloni angkasa, pikiran praktis mungkin membawa ingatan manusia pada Bulan, atau planet Mars, sejauh yang terpikir adalah lingkungan Tata Surya. Pada lingkungan ini jelas Merkurius yang paling dekat dengan Matahari mustahil diperhitungkan karena suhu demikian panas pada siang hari (350 derajat Celsius) dan amat dingin pada malam hari (minus 170 derajat Celsius). Demikian pula Venus yang diselimuti awan karbon dioksida. Planet jauh seperti Jupiter dan Saturnus dingin dan dipenuhi metana.
Bahkan, untuk bisa tinggal di Bulan dan Mars, manusia harus bisa lebih dulu menciptakan lingkungan yang "bisa ditinggali" seperti halnya Bumi, khususnya dalam hal penyediaan udara untuk bernapas dan bahan pangan untuk kelangsungan hidup. Ini tentu perlu investasi besar.
Jadi paling masuk akal tentu koloni ke planet lain yang kondisinya sama atau sangat mirip dengan Bumi. Hanya saja, kalaupun ada, planet semacam ini pasti di luar Tata Surya (ekstra-solar), yang jaraknya pasti masih di luar jangkauan teknologi manusia yang ada sekarang ini.
"Super-Earth"
Di antara miliaran bintang yang ada, kebolehjadian menemukan planet seperti Bumi jelas ada, dan salah satunya memang telah ditemukan, yakni planet yang mengelilingi bintang redup Gliese 581, yang terletak pada jarak 20,5 tahun cahaya dari Bumi, dan berada pada Rasi Libra. (Catatan: Jarak Bumi-Gliese 581 adalah setara dengan 20,5 x 9.500.000.000.000 kilometer)
Seperti kita baca beritanya di harian ini pekan silam, penemuan dilakukan dengan teleskop European Southern Observatory (ESO) bergaris tengah 3,6 meter yang ada di Gurun Atacama, Cile.
Salah satu yang menjadi landasan bagi para astronom penemu untuk mengatakan planet tersebut serupa dengan Bumi adalah kemungkinan adanya air yang mengalir di permukaannya. Ini bisa terjadi karena suhu planet tersebut sedang, artinya tidak seekstrem Merkurius. Stephane Udry dari Observatorium Geneva yang mengepalai penulisan laporan penemuan ini di jurnal Astronomy & Astrophysics terbitan mendatang menyebutkan, suhu rata-rata planet ini antara 0 derajat dan 40 derajat Celsius, jadi memungkinkan adanya air dalam wujud cair.
Dengan adanya air dalam bentuk cair, ada pula kemungkinan terdapat kehidupan di planet yang oleh para astronom lalu disebut "Super-Earth" ini. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa radius planet hanya 1,5 kali radius Bumi, dan model yang dibuat memperlihatkan planet ini merupakan planet batuan—seperti halnya Bumi—atau tertutup oleh lautan.
Karena sifat khasnya ini, planet Bumi Super diyakini akan jadi fokus penyelidikan misi antariksa mendatang, kata Xavier Delfosse, anggota tim penemu dari Universitas Grenobles. Misi yang dimaksud Delfosse terutama yang bertujuan untuk mencari kehidupan ekstraterestrial (di luar Bumi).
Dengan teleskop yang akan dipangkalkan di ruang angkasa nanti akan coba dilacak apakah ada jejak atau "tanda tangan" yang bisa diasosiasikan dengan proses biologi. Seperti dilaporkan BBC News (25/4/2007), observatorium akan coba melacak ada tidaknya gas atmosfer seperti metana, bahkan mungkin juga marka khlorofil, pigmen dalam tanaman Bumi yang memainkan peranan penting dalam fotosintesa.
Peranan astronomi
Dalam kaitan penemuan planet yang kemudian diberi kode Gliese 581 C ini, orang bisa mengagumi teknik yang diterapkan para astronom untuk menemukan obyek sekecil ini di langit yang jauh, bahkan sampai tahu, bahwa planet ini mengorbit bintang induknya hanya dalam tempo 13 hari. Artinya, satu tahun di Gliese 581 C hanya berlangsung 13 hari. Planet tetap bisa dalam kondisi "memungkinkan untuk kehidupan"—atau dalam istilah lain tetap masuk dalam "Zona Goldilocks"—karena meski jaraknya ke Bintang hanya 1/14 jarak Bumi-Matahari (sekitar 18 juta kilometer), ia tetap tidak kepanasan. Ini karena bintang induknya redup, tidak sepanas Matahari yang suhu permukaannya hampir 6.000 derajat Celsius.
"Super-Earth" telah menimbulkan gairah baru dalam pencarian planet dan kehidupan ekstraterestrial karena ia memang berbeda dengan 200 eksoplanet yang sejauh ini telah ditemukan.
Kalau memang kehidupan ekstraterestrial bisa dikonfirmasikan, manusia Bumi jelas semakin punya harapan untuk melestarikan rasnya tanpa harus mengembangkan lingkungan seperti halnya kalau ingin hidup di Bulan atau Mars.
Bisa juga kehidupan ekstraterestrial di Gliese 581 C atau di planet lain jauh lebih canggih. Kalau hal ini yang terjadi, siapa tahu manusia Bumi bisa mengirim sinyal SOS ke penghuni di sana, dan dengan teknologi transportasi angkasa yang lebih maju, mereka bisa mengirim bantuan ke Bumi dengan lebih cepat.
Urusan pindah ke luar Bumi, di luar ada tidaknya habitat alternatif, erat terkait dengan wahana yang tersedia. Kini dengan hanya mampu membuat pesawat antariksa yang berkecepatan sekitar 100.000 kilometer per jam, bisa dihitung berapa lama wahana buatan manusia ini akan tiba di planet Gliese 581 C.
Koloni angkasa tak diragukan lagi akan terus menjadi impian manusia yang tak akan pernah padam. Dengan segala permasalahan rutin kebumian yang melilit umat manusia sekarang ini, "langkah persiapan" untuk menuju ke sana telah dilakukan oleh bangsa maju, seperti berlatih tinggal lama di ruang angkasa, yang mengekspos mereka pada keadaan tanpa gaya berat, seperti yang dialami Hawking selama 8 x 25 detik.
Namun, semua itu hanya akan ada artinya jika umat manusia pertama-tama lolos dulu dari ancaman serius yang kini tengah mengepungnya, yang juga telah disinggung Hawking, apakah itu pemanasan global atau perang nuklir. Kalau umat manusia tak lolos dari ancaman ini, akan sia-sialah rencana pindah habitat, meski penemuan Gliese 581 C memberi peluang bahwa tempat tinggal seperti Bumi ada di Semesta, walaupun sungguh nun jauh di langit sana.